Wednesday, July 1, 2009

Kasak-kusuk Pilpres - 2

Pilpres tinggal seminggu lagi. Kampanye dan debat belum selesai, para capres masih sibuk mengobral janji. Satu isu kampanye yang menarik perhatian saya adalah mengenai isu hutang luar negeri Indonesia.

Beberapa hari yang lalu saya membaca koran, ada salah satu LSM pemerhati hutang luar negeri merilis bahwa hutang luar negeri Indonesia saat ini adalah yang terbesar dalam sejarah. Jika dibagi rata ke semua warga negara, maka masing-masing kepala kebagian hutang sekitar 7 jutaan. Keesokan harinya, di koran yang sama, Menteri Keuangan (yang notabene adalah orang SBY) mengeluarkan pernyataan yang secara implisit menyanggah rilis LSM tersebut. Meskipun hutang luar negeri mengalami kenaikan, tetapi justru rasio hutang dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) adalah yang terendah sepanjang sejarah yaitu hanya 32%. Dan juga dibanding-bandingkan dengan negara lain, nilai tersebut masih rendah. Bagi orang awam yang tidak tahu maksud dari istilah-istilah tersebut. Maksudnya kurang lebih seperti ini, memang jumlah hutang naik tetapi penghasilan naik lebih tinggi lagi.

Belakangan isu ini sempat menghangat, tapi tidak ada lawan SBY yang bisa memanfaatkan dengan baik. Sebenarnya mana yang lebih baik? Hutang dihitung secara absolut atau relatif? Menurut saya mudah jawabannya, seharusnya secara absolut jumlah hutang turun dan secara relatif (rasio hutang-PDB) juga turun.

Sekarang pendapat saya sebagai warga negara. Saya tidak suka dengan yang namanya hutang dalam bentuk apapun. Secara filosofis hutang itu membuat malu di siang hari dan membuat gelisah di malam hari bagi si pengutang. Saya tahu persis bahwa negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk pembangunan. Tetapi apa ya harus dari hutang? Kenapa tidak mengoptimalkan pajak dan investor?

Saya akan memilih capres yang punya program riil mengenai masalah hutang luar negeri ini. Tetapi sepertinya tidak ada.

No comments:

Post a Comment